Skip to content

Mungkinkah Indonesia Memiliki Politisi Berakhlak di Masa Depan?

AKURAT.CO – Pertanyaan ini tidak saja menarik diajukan tapi menantang rasionalitas kita semua. Apakah masih relevan, atau masihkah mungkin, ke depan Indonesia akan memiliki para politisi berakhlak?

Pesimisme untuk menjadikan jawaban atas pertanyaan itu memang tampak yang paling rasional dan relevan. Terlebih belakangan, di saat pandemi terjadi, kasus korupsi masih saja mewarnai bumi NKRI.

Terbaru, ditangkapnya Bupati Probolinggo bersama suami, keduanya adalah politisi sebuah partai populer di negeri ini. Masih dari Jawa bagian Timur, Bupati Jember juga ramai diberitakan mendapat Rp. 70 juta dari pemakaman warga terpapar Covid-19.

Belum lagi sikap penegak hukum yang cenderung “manis” kepada “kolega” dan begitu bengis kepada yang dinilai bukan bagian dari kelompoknya.

Pendek kata, politisi berakhlak itu setidaknya untuk saat ini tak ubahnya mimpi di siang bolong bagi sebagian orang. Atau dalam bahasa pujangga, harapan rakyat belakangan ini begitu berat terwujud, bak pungguk merindukan bulan.

Selalu Ada Jalan

Namun, realitas adalah hal yang tidak abadi. Ia akan berubah seiring dengan berjalannya waktu.

Tinggal, apakah ada kesadaran pada sisi rakyat, akademisi, intelektual, budayawan, pendidik dan ulama terhadap pentingnya mengisi waktu yang terus bergulir dengan pencerahan politik, sehingga ke depan lahir politisi-politisi berakhlak.

Akhlak secara sederhana bisa juga dipahami dengan kata etika dalam bahasa umum. Makna etika adalah usaha manusia menggunakan akal budi dan daya nalar untuk memecahkan setiap permasalahan dengan mengarah pada komitmen terhadap kebenaran, kebaikan dan ketepatan.

Jadi, etika tidak sebatas bahasan baik dan buruk. Dalam buku Etika Pemerintahan karya Ismail Nurdin, etika mengulas tentang bagaimana bertindak secara “benar, baik, dan tepat.”

Terlebih Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara, kata Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Natsir dalam prolog buku “Politik Inklusif Muhammadiyah: Narasi Pencerahan Islam untuk Indonesia Berkemajuan” tidak dapat dipisahkan dari agama.

Lebih khusus agama Islam dan umat Islam sebagai mayoritas di negeri ini. Secara historis dan sosiologis agama dan umat beragama telah hidup menyatu dengan kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan hidup masyarakat dan bangsa Indonesia,” tegasnya.

Hal ini berarti jalan untuk melahirkan politisi masa depan yang berakhlak amatlah terbuka. 

Tinggal bagaimana elemen yang sadar dapat membangun satu kekuatan dan komunikasi yang efektif, sehingga ke depan lahir pemimpin-pemimpin yang berakhlak. Sekalipun semestinya, langkah atas kesadaran ini segera ditangkap dengan kekuatan penuh oleh para elit partai di negeri ini.

Pertanggungjawaban

Menarik uraian Franz Magnis Suseno dalam bukunya Etika Politik, Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern.

Ia menuliskan bahwa manfaat dari hadirnya politisi yang berakhlak yang mengedepankan etika politik bukan berarti ada gerakan mengkhotbahi para politisi atau untuk langsung mempertanyakan legitimasi moral pelbagai keputusan, melainkan agak sebaliknya.

Frans Magnis Suseno bilang bahwa etika politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk menata masyarakat dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip moral dasar. Klaim-klaim legitimasi dari segala macam kekuatan, entah bersifat kekuasaan langsung, entah bersembunyi di belakang pembenaran-pembenaran normatif, dipaksa untuk membenarkan diri.

Dengan kata lain, akhlak atau etika politisi akan muncul hanya kala mereka sadar bahwa apakah dari setiap kebijakan yang mereka tetapkan ada pertanggungjawaban yang dapat menyelamatkan dirinya di hadapan logika dan harapan rakyat.

Bagi seorang Abu Ubaidah, jika kita merujuk sejarah umat Islam, sosok panglima bergelar Aminul Ummah yang juga Gubernur Syam itu maka masa kepemimpinannya tidak digunakan untuk menumpuk harta kekayaan bagi diri dan keluarganya.

Ketika Umar bin Khathab datang ke rumah Gubernur Syam itu, di rumah Abu Ubaidah hanya ada beberapa barang, yakni pedang, tombak dan pelana kuda.

Pertanyaannya mengapa demikian, karena Abu Ubaidah sadar bahwa semua perilaku hidup di dunia, terutama yang sifatnya amanah bagi kemaslahatan rakyat, kemudian disalahgunakan, pertanggungjawabannya tidak ringan nanti di hadapan Tuhan.

Ketika elit partai, politisi dan siapapun yang duduk di beragam jabatan tinggi untuk kepentingan rakyat menyadari hal itu, maka insha Allah pemimpin berakhlak akan lahir dan membawa kemakmuran.

Kapan itu? Tergantung dari kesadaran dan gerakan semua pihak untuk mewujudkannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Call to Action

Hubungi Tim Ahli ARCHI