Skip to content
Home » Kontroversi Plt dan Sisi Positif Kontestasi Pilkada 2024

Kontroversi Plt dan Sisi Positif Kontestasi Pilkada 2024

  • by

Archi.id – Dalam pilkada seterentak 2024, terdapat 272 daerah akan mengelar pilkada di bawah Plt. 272 daerah itu terdiri dari 7 provinsi, 18 kota dan 76 kabupaten pilkada 2017. Sementara, ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten pilkada 2018. Banyaknya daerah yang akan diisi Plt, di satu sisi memicu kontrovesi dan terkesan akan menimbulkan persoalan krusial. Ada yang menyoal siapa akan mengisi posisi Plt. Berikut mekanisme penunjukan dan pijakan regulasinya. Juga muatan politik dibalik penunjukan sosok Plt. Termasuk implikasi lanjutan, imbas dari penunjukan Plt itu bagi efektivitas pembangunan daerah. Namun demikian, terdapat pula sisi positif dari penunjukan Plt bagi gelaran kontestasi pilkada di 272 daerah itu yang luput dari perhatian.

Kontroversi Plt Kepala Daerah

Setidaknya ada lima isu terkait kontroversi seputar rencana penunjukan Plt kepala daerah belakangan ini.

Pertama, terkait sosok yang akan ditunjuk. Perdebatannya mencuat dan meluas karena ada wacana penunjukan figur berlatar Polri dan TNI. Hal itu dianggap mencederai amanat reformasi dan tanda degradasi bagi demokrasi. Memang, sejauh ini tidak ada UU yang secara tegas melarang maupun membolehkan. Dalam prakteknya pun sudah terjadi di era reformasi. Misalnya pada 2018, penunjukan Komjen (purn) M. Iriawan (Asisten Operasi Kapolri) menjabat Plt. Gubernur Jabar dan Irjen (Purn) Martuani sebagai Plt Gubernur Sumatera Utara. Carlo Brix Teewu menjadi Pjs Gubernur Sulbar Desember 2016. Di TNI, ada Mayjen Soedarmo menjadi Plt. Gubernur Aceh, Oktober 2016. Di era SBY, ada Mayjen TNI Tanribali Lamo sebagai Penjabat Gubernur Sulsel pada Januari 2008.

Kedua, mekanisme penunjukan Plt dan pijakan regulasinya. Sekalipun sudah ditegaskan oleh Tito Karnavian (Mendagi), namun tetap saja mengundang pertanyaan. Pasalnya selain bisa merujuk pada UU 10/2016 tentang Pilkada juga tersedia aturan lain, seperti Permendagri No. 1/2018 dan Pedoman Penyusunan Tatib DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota. Sebenarnya clear, kalau terkait Pilkada serentak 2024, secara normatif pijakannya Pasal 201 ayat (10) UU 10/2016. Di mana dijelaskan, untuk mengisi jabatan gubernur akan diangkat pejabat gubernur dari jabatan pimpinan tinggi madya. Sementara untuk bupati/walikota akan diangkat pejabat dari pimpinan tinggi pratama. Adapun Permendagri Nomor 1/2018 mengatur kekosongan jabatan kepala daerah karena alasan cuti untuk pilkada. Adapun penunjukkan Plt Gubernur adalah oleh Presiden atas usul Mendagri dan Bupati/Walikota atas penunjukkan Mendagri atas usul Gubernur. Kalau kemudian Plt yang ditunjuk (sedang menjabat) Kepala Daerah atas dasar persamaan hak lantas memilih ikut kontestasi pilkada serentak 2024, tentu aturannya Pasal 5 Permendagri Nomor 1/2018 sebagai ‘pejabat sementara’ ditunjuk oleh Menteri. Adapun pasal 23 PP 12/ 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tatib DPRD Provinsi Kabupaten dan Kota diberlakukan dalam kasus tertentu, karena kausul ini bukan klausul berlaku dalam situasi normal.

Ketiga, anggapan menabrak regulasi terutama terkait jangka waktu Plt. Batas waktu Plt tidak diatur secara detail dalam UU 10/2016. Plt hanya bertugas selama dua tahun sementara ada daerah yang masa waktu kekosongan lebih dari dua tahun. Contoh masa kerja gubernur DKI Jakarta berakhir Oktober 2022, sementara proses pilkada DKI serentak November 2024. Jadi, waktu yang dibutuhkan lebih dari 2 tahun sementara amanat UU hanya 2 tahun.

Keempat, terkait ‘abuse of power’. Kontroversinya karena penunjukan Plt bisa disertai motivasi politik tertentu oleh kelompok tertentu. Dugaan bagi adanya ‘abuse of power’ tidak terhindarkan, mengingat Plt berimplikasi ke Pemilu 2024, baik pemilu legislatif maupun pilpres. Apalagi daerah yang akan diisi oleh Plt itu basis populasi pemilihnya besar. Seperti Provinsi DKI Jakarta, Banten, Jabar, Jateng, Jatim, Sumatera Utara & Selatan, Lampung, plus Sulsel. Kerenanya, keberadaan plt dikhawatirkan membuat legitimasi hasil Pemilu 2024 dipersoalkan.

Kelima, dampaknya pada efektivitas pembangunan daerah. Kontroversi ini muncul terutama terkait legitimasi (power) Plt bukan hasil pilihan rakyat secara langsung. Muncul anggapan akan ada kendala proses komunikasi antara Plt dengan DPRD. Misalnya ketika merumuskan program prioritas dan membahas pengelolaan anggaran. Plt juga dianggap membawa persoalan karena tidak memiliki RPJMD. Akibat dari kewenangan yang terbatas dalam menentukan kebijakan, efektivitas pembangunan daerah akan terdampak dan berimbas bagi kesejahteraan rakyat. Sekalipun hal ini sempat diluruskan oleh pejabat Kemendagri dengan mengatakan, Plt dan Pejabat (PJ) memiliki kewenangan penuh seperti kepada daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 201 UU 10/2016. Berbeda dengan Plh dan PjS yang memilki kewenangann yang terbatas.

Sisi Positif Bagi Gelaran Kontestasi Pilkada 2024

Terlepas dari kontroversi seperti diuraikan di atas, terdapat sisi positif Plt bagi gelaran kontestasi pilkada 2024. Sisi positif itu, diantaranya;

Pertama, kontestasi bagi peserta pilkada lebih fair. Fairness ini terutama didukung oleh terbatasnya ruang bagi semua peserta untuk memanfaatkan sumber daya pemda. Hal ini jauh berbeda ketika gelaran pilkada diikuti oleh incambent. Upaya praktek politisasi program pemda, pemanfaatan ASN dan potensi jaringan birokrasi, serta sumber keuangan daerah dibayangkan relatif terjaga. Boleh jadi ada peserta pilkada yang maju untuk periode kedua, ‘incumbent’. Tapi karena jarak waktu pilkada 2024 cukup lama dari akhir masa jabatan pertama, maka akses untuk mengambil keuntungan politik tentu terbatas. Ini jelas berbeda dari incambent yang selama ini dipahami dengan segala sumberdaya politik yang melekat padanya. Sehingga ada kebebasan dan kesetaraan dalam berkompetisi sebagai salah satu inti dari demokrasi. Dengan catatan, tidak ada ‘incumbent’ dalam pengertian yang baru, karena hadirnya peserta pilkada yang berlatar Plt.

Kedua, terbuka ruang bagi terciptanya netralitas ASN. Unsur ASN terutama PNS relatif lebih terbebas dari tekanan politik. Pola relasi ‘mutual simbiosis’ berupa ‘kolusi-politik’ antara pasangan incambent dengan unsur ASN relatif terputus. Pola relasi ‘mutual-siombiosis’ antar sesama PNS dalam konteks atasan-bawahan kaitannya dengan incambent sebagai sumber munculnya pelanggaran netralitas relatif tertutup. Sehingga dibayangkan akan ada situasi dan kondisi birokrasi yang lebih sehat. Boleh jadi penegakan pelanggaran disiplin terkait netralitas ASN jauh lebih kecil dibanding ketika terdapat incambent seperti dipahami selama ini.

Ketiga, Beban kerja penyelenggara pemilu lebih ringan, terutama misalnya Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten Kota. Beban pencegahan atau pengawasan berkurang dan agenda-agenda pencegahan dan pengawasan bisa lebih difokuskan dan dioptimalkan untuk mengantisipasi bentuk kecurangan dan pelanggaran lainnya. KPUD juga relatif lebih terjaga dari intervensi incambent.

Keempat, konsekuensi dari ketiga point di atas adalah gelaran pilkada diproyeksikan berjalan lebih demoratis. Untuk mengatakan pilkada berjalan jujur, bebas, rahasia dan adil mungkin belum. Jaminan tidak terjadi politik uang, pelanggaran administrasi, pelanggaran pidana pemilu dan berbagai bentuk kecurangan lainnya juga belum pasti. Tapi paling tidak gelaran pilkada dibawah Plt akan jauh lebih terjaga dari pelanggaran yang mendominasi berbagai jenis pelanggaran yang ditemukan di berbagai daerah selama ini, yakni pelanggaran terkait dengan pemanfaatan jabatan dan keterlibatan unsur ASN, seperti dalam pengalaman pilkada serentak 2020 lalu.

Muhammad Arjul, SIP. M.Si
(Senior Researchers & Consultants pada ARCHi Research and Strategic)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *