Skip to content

Konsultan Politik dan Pelanggaran Pemilu

(Menelisik Pengaruh Konsultan Politik Dalam Kontestasi Demokrasi Dan Tindakan Bawaslu)

Archi.id – Dalam setiap gelaran pesta demokrasi (Pilkada Bupati/Walikota, Pilkada Gubernur, Pilpres, pemilihan calon anggota legislatif, calon anggota DPD), Konsultan Politik (KP) merupakan salah satu aktor ‘penting’ diantara aktor-aktor lainnya. Posisi dan peranannya sangat ‘strategis’ bagi keberhasilan-keterpilihan kandidat atau peserta dalam suatu kontestasi. Dalam kontrak kerja professional, tidak jarang KP bekerja untuk satu klien jauh sebelum tahapan pemilihan dimulai sampai semua tahapan terlewati. Namun terkadang KP juga bekerja untuk satu program dengan tujuan tertentu. Jadi, layanan jasa yang diberikan sangat tergantung permintaan dan kesepakatan kliennya. Apapun bentuk kontrak kerja KP dengan kliennya, semua ditujukan dalam rangka ‘memastikan’ pemenangan atau keterpilihan.


Untuk menjadi pemenang atau terpilih dalam satu gelaran kontestasi, KP bekerja dengan mengerahkan semua kemampuannya untuk menghasilkan ‘grand desain’ strategi pemenangan. Dalam grand desain itu lazimnya tersaji informasi yang akan dijadikan acuan kerja dalam setiap tahapan oleh kandidat bersama tim suksesnya. Bahkan dalam moment tertentu KP harus turut serta melakukan pendampingan. Terjun langsung ke lapangan untuk mengetahui situasi dan kondisi real, sekaligus memastikan peluang dan langkah-langkah pemenangan berjalan sesuai target dan harapan. Bagi KP, kemenangan atau keterpilihan klien bukan hanya merupakan prestasi, kebanggaan, menghadirkan kepuasan baginya. Tapi juga peluang bagi terbukanya ‘kontrak bisnis’ baru, sehingga menuntut KP harus bekerja penuh totalitas.

KP : Potensi Kecurangan dan Pelanggan

Hanya saja, terkadang semangat totalitas kerja KP untuk suatu pemenang atau keterpilihan klien mengabaikan nilai dan prinsip idealitas. Sehingga terkesan mencederai professionalisme kerja karena berlepas diri etik dan moral. Bahkan justru menjadi aktor pertama pemicu terbukanya ruang bagi terjadinya kecurangan dan pelanggaran dalam pesta demokrasi. Misalnya kerja membangun opini publik untuk kepentingan tertentu tanpa didasari dan dibingkai dengan etika. Kritik dan sinisme publik terhadap hasil-hasil kerja KP yang terpublikasi karena dianggap menabrak kaidah-kaidah ilmiah jamak ditemui belakang ini. Mereka beranggapan bahwa apa yang KP lakukan tidak lebih dari bentuk penggiringan opini dan cenderung mengarah pada pembohongan publik. Dan tanpa disadari, sesungguhnya pada titik inilah awal kecurangan dan pelanggaran suatu hajatan pesta demokrasi tersemai.


Dalam pertimbangan tertentu, fenomena ini masih bisa dimaklumi sekalipun rasanya sulit diterima. Dimaklumi karena tidak secara langsung menabrak aturan-aturan pemilu dan dilakukan diluar tahapan resmi yang ditetapkan penyelenggara pemilu. Sekalipun sangat nyata dan sulit dipungkiri bahwa kerja dan produk KP semacan ini bagian tak terpisahkan dari agenda-agenda politik yang grand desain strategi pemenangan peserta pemilu.

Yang menarik untuk ditelisik lebih jauh adalah seperti apa bentuk keterlibatan KP untuk mempengaruhi dan menentukan agenda kerja pemenang klien yang bersinggungan dengan tahapan-tahapan resmi penyelenggaraan pemilu. Tidakkah disana tersedia ruang bagi KP untuk mempengaruhi bahkan mengintervensi bentuk kegiatan atau perilaku kliennya dalam rangka ‘memastikan’ kemenangan atau terpilihnya.

Kata memastikan sengaja diberi tanda quote, untuk membuka mata stakeholder penyelenggaraan pemilu, karena terkadang, penyenggara yang bertanggung jawab bagi berlangsungnya pesta demokrasi jujur dan adil tidak menjangkau gejala semacam ini. Bawaslu misalnya, ruang lingkup peran dan fungsinya tidak didukung dengan kerangka regulasi jelas dan tegas yang menyasar aktor KP dalam pemilu. Padahal tindakan pelanggan oleh seorang kandidat dan timnya dalam pesta demokrasi atas inisiatifnya. Saran dan masukan KP mau tidak mau harus dilakukan demi untuk ‘memastikan’ kemenangan.

Dalam konteks inilah kecurangan dan pelanggan pemilu berpotensi terjadi. Dan sepertinya terlalu naif untuk membantah bahwa pengaruh dan intervensi KP dalam melakukan kecurangan dan pelanggaran sangat besar dan signifikan. Karena, faktuanya tidak jarang KP ikut menentukan bentuk, jenis, waktu, kapan, jumlah, yang mengarah pada tindakan pelanggaran atau kecurangan itu dilakukan. Di lapangan misalnya, KP mampu menelisik karakteristik pemilih dan menguasai model persuasi yang ‘presisi’ untuk diterapkan. Dalam banyak kasus, KP dapat menentukan berapa banyak ongkos politik, kapan, melalui siapa eksekusi itu harus dilakukan. Itu kalau modelnya, money politik misalnya. apakah tidak terdapat model kecurangan atau pelanggan yang lebih ekstrim? Disilnilah makna totalitas kerja bagi KP patut dipertanyakan karena menabrak prinsip profesionalisme kerja.

Antisipasi Pencegahan : Tindakan Bawaslu

Dalam perspektif kepemiluan atau gelaran pesta demokrasi, Bawaslu salah satu aktor penyelenggara yang berperan dalam menjaga keberlangsungan pemilu bersih, jujur dan adil. UU Nomor 7 Tahun 2017 jelas dan tegas menyebut kewajiban, tugas, serta fungsinya. Amanat pengawasan, pencegahan, penindakan segala bentuk pelanggaran atau kecurangan menjadi tanggung jawabnya.


Berkaca pada potensi terjadinya pelanggaran atau kecurangan seperti sudah diuraikan di atas, penting bagi Bawaslu untuk memikirkan dan menyediakan model penjegahan sejak dini. Sifat pengawasan dan pencegahan yang disediakan harus menjangkau bahkan melampaui semua proses dan tahapan resmi gelaran suatu pesta demokrasi. Dengan kata lain, semangat pengawasan dan pencegahan dilakukan dari hulunya. Termasuk dalam konteks ini menjangkau kerja-kerja pihak KP. Di titik ini, Bawaslu tentu tidak harus melakukan ‘penindakan’, tapi paling tidak mendorong komunitas KP untuk membagun ekosistem pemilu bersih dan demokratis. Kalau ini dilakukan dan ekosistem itu tercipta, itu bermakna sebagian pontensi pelanggaran dan kecurangan dapat teratasi.

Dalam bangunan ekosistem KP untuk pemilu bersih dan demokratis banyak agenda-agenda kerja pengawasan dan pencegahan dini dapat disodorkan. Beberapa diantaranya; pertama, mendorong komunitas KP untuk menghadirkan kode etik yang bertujuan menjaga integritas para KP. Kedua, melakukan program bersama yang menjangkau aspek pengawasan dan pencegahan. Ketiga, sampai pada membuat MoU yang orientasinya adalah pemilu bersih dan demokratis.

Diluar agenda kerja yang bernuasa ‘pengawasan partisipatif’ tersebut, Bawaslu secara internal bisa juga menerbitkan peraturan yang secara spesifik menjangkau aktor pendukung penyelenggaraan pemilu, terlebih bila aktor pendukung itu dianggap penting dan cukup berpengaruh bagi munculnya berbagai bentuk aksi kecurangan dan pelanggaran. Bahkan dalam skala yang lebih tinggi (progresif) aktor-aktor pendukung strategis semacam ini dapat saja diusulkan untuk diatur dalam revisi RUU Pemilu yang ada.

Muhammad Arjul, SIP. M.Si
(Senior Researchers & Consultants pada ARCHi Research and Strategic)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Call to Action

Hubungi Tim Ahli ARCHI